MUSIK TANPA BATAS (MTB) HMJ KARAWITAN “RUANG KREATIVITAS DAN KOLABORASI YANG MENGINSPIRASI”

Pada tanggal 29 Oktober 2023, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Karawitan telah mengadakan acara rutin mereka yang dinamakan Musik Tanpa Batas (MTB) di Auditorium Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Padangpanjang. MTB yang telah mencapai usia 10 tahun ini menjadi wadah untuk menggali kreativitas dalam dunia musik. Tahun ini, terdapat tiga kelompok yang menonjolkan konsep inovatif dalam karyanya, yaitu Komunitas ACA Komposer Capaik, Mak Lenggang, dan AGDG & Rama Anggara. Dalam kolaborasi yang menarik, dua komposer avant-garde, Dewa Gugat dan Rama Anggara, telah menyatukan ide dan bakat mereka.

Tiga karya yang dihadirkan dalam acara tersebut memiliki satu kesamaan, yaitu gagasan kebaruan dalam menginterpretasikan bunyi sesuai dengan konsepnya masing-masing. Karya-karya ini tidak hanya mengeksplorasi dimensi musik, tetapi juga mencoba merangkai isu-isu sosial dan peristiwa terkini dalam harmoni suara yang kreatif. Penonton yang hadir akan merasakan penyegaran dalam cara mereka mengapresiasi gagasan komponis melalui komposisi musik yang penuh kreativitas. Musik Tanpa Batas membuktikan bahwa dunia seni musik terus berkembang dan memberikan ruang bagi ide-ide segar yang menginspirasi.

Abdul Azis dan Nola Maysandi tampil memukau sebagai pembawa acara pada malam itu, membuka agenda rutin yang sangat dinanti, yaitu Musik Tanpa Batas (MTB). Suasana semakin meriah ketika Ketua Jurusan, Dr. Asep Saepul Haris, S.Sn., M.Sn, memberikan sepatah kata sekaligus membuka acara MTB dengan penuh semangat. Dalam sambutannya, beliau menjelaskan bahwa MTB merupakan hasil pengembangan dari program Ota Rabu Malam di Prodi Seni Karawitan.

Ota Rabu Malam, seperti yang diungkapkan oleh Dr. Asep Saepul Haris, adalah tempat di mana para mahasiswa dapat mengasah soft skill mereka dalam dunia musik Nusantara. Di sisi lain, MTB hadir sebagai ruang yang berfokus pada pengembangan hard skill, khususnya dalam kreativitas penciptaan musik. MTB juga memiliki dampak yang sangat signifikan dalam meningkatkan mutu pembelajaran di bidang komposisi musik.

Program MTB tidak hanya menjadi sarana bagi mahasiswa untuk berbagi pengetahuan dan keterampilan di antara sesama, tetapi juga berfungsi sebagai media pembelajaran yang konstruktif. Inisiatif ini telah memainkan peran penting dalam meningkatkan capaian pembelajaran di Program Studi Seni Karawitan, menciptakan ruang di mana bakat dan ide-ide kreatif dapat berkembang secara optimal. Dengan adanya MTB, mahasiswa dapat terus mengembangkan potensi mereka dalam mencipta dan mengapresiasi musik dengan lebih baik.

Sesi berikutnya, dengan penuh antusiasme, pembawa acara meminta sepatah kata dari Susandra Jaya, S.Sn., M.Sn, yang hadir sebagai perwakilan dosen sekaligus sebagai mantan pembimbing Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Karawitan. Dalam pidatonya, beliau mengungkapkan betapa agenda rutin yang telah berjalan hampir selama satu dekade ini telah memberikan dampak yang luar biasa terhadap peningkatan mutu dan kualitas lulusan di Program Studi Seni Karawitan.

Susandra Jaya dengan bangga menjelaskan bahwa Musik Tanpa Batas (MTB) telah menjadi wahana yang sangat berarti dalam menciptakan talenta dan komposer muda, baik secara individu maupun dalam bentuk komunitas. Sejumlah kelompok seperti Etnic Percussion, Taman Bunga, Lab Project, Marawa, Jumaidil Project, Gubuak Kopi, AGDG, dan banyak komunitas lainnya telah aktif dalam mengembangkan kreativitas dan eksplorasi dalam dunia olah bunyi, hasil dari dedikasi dan semangat yang ditanamkan oleh MTB.

Prestasi dan eksistensi berbagai komunitas ini menjadi bukti nyata bagaimana MTB telah memberikan kontribusi positif dalam menginspirasi, melatih, dan memberdayakan generasi muda dalam bidang seni musik, khususnya music nusantara. Dengan adanya MTB, program ini telah menjadi fondasi yang kokoh dalam membentuk mahasiswa menjadi individu yang berbakat, kreatif, dan berpotensi untuk berkontribusi dalam perkembangan seni musik Nusantara.

Pertunjukan malam itu dimulai dengan penampilan Kelompok ACA yang menghadirkan karya berjudul “EMPATIS,” yang dikomposeri oleh Capaik. Karya komposisi musik ini merupakan respons terhadap sejumlah permasalahan yang tengah dihadapi oleh masyarakat Mentawai, termasuk perusakan alam, pemanasan global, dan terkikisnya budaya leluhur mereka. Kelompok ini mencoba menginterpretasikan kondisi tersebut melalui ritual dengan pengembangan interpretasi bunyi yang lebih luas. Mereka memilih menggunakan ritual adat Mentawai sebagai media untuk menyampaikan pesan dan kegelisahan mereka.

Pertunjukan dimulai dengan bunyi suara burung dan alam yang digarap secara digital, menciptakan nuansa pedalaman yang kental. Kemudian, sejumlah individu memasuki panggung dengan bergerombolan, dengan tubuh mereka dihiasi tato berbagai bentuk. Di kaki musisi-musisi tersebut, tergantung ganto kecil yang menghasilkan suara gemerincing ketika diayunkan dengan hentakan yang khas. Selain itu, tiga buah gong yang tergantung di atas panggung tidak hanya berfungsi sebagai elemen artistik dalam pertunjukan, tetapi juga dimainkan dengan pukulan dan aksentuasi oleh tiga penabuh yang terampil.

Interaksi antara berbagai instrumen dan musisi, yang melibatkan hentakan kaki, tepukan tangan, dan gerakan yang membentuk kombinasi pola lantai yang beragam, menciptakan tontonan yang sangat menarik. Gerakan ritmis dan non-ritmis yang ditampilkan dalam pertunjukan ini merupakan ekspresi yang kuat dalam mengungkapkan kegelisahan terhadap kesenjangan sosial yang semakin melebar, yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan modernitas yang canggih.

Pertunjukan ini tidak hanya memukau secara artistik, tetapi juga memberikan refleksi mendalam tentang dampak yang kompleks dari perkembangan zaman terhadap budaya lokal dan alam sekitar, serta keinginan untuk mengungkapkan kegelisahan ini melalui medium seni musik yang kreatif dan eksperimental.

Karya kedua dalam acara MTB ini berjudul “SIKAMBANG” dan dikomposisikan oleh M. Halim, yang akrab disapa dengan panggilan Mak Lenggang. Mak Lenggang, yang sudah dikenal sebagai seorang komposer handal baik di tingkat nasional maupun internasional, turut serta dalam MTB kali ini dengan tujuan memberikan penghargaan kepada seluruh penonton yang hadir. Gagasan karyanya adalah sebuah refleksi musikal yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman empirisnya sebagai seorang komposer dalam menjelajahi kekuatan musik tradisional Minangkabau.

“Sikambang” adalah judul sebuah lagu dalam tradisi musik rabab atau babiola di Pesisir Selatan. Biasanya, tradisi tutur ini dipertunjukkan dalam bentuk bakaba yang menceritakan tokoh-tokoh dan legenda melalui pantun dan gurindam. Namun, M. Halim dengan kepiawaannya, menghidupkan lagu “Sikambang” secara lebih interaktif dan dinamis. Ia memadukan unsur konsep improvisasi yang dilakukan secara spontan dengan penggunaan pantun dan syair sambil berinteraksi dengan penonton.

Konsep interaktif dan spontan ini menjadikan pertunjukan komposisi.musik ini sangat menarik dan menggelitik bagi penonton. Mak Lenggang tidak hanya menghadirkan musik yang indah, tetapi juga menjalin komunikasi langsung dengan penontonnya. Ia merespons dengan spontanitas saat nama-nama yang disebut dalam lagu tersebut adalah mereka yang tengah hadir di acara tersebut, menciptakan momen yang penuh keceriaan dan interaksi unik antara seniman dan penonton. Dengan “SIKAMBANG,” M. Halim tidak hanya menghadirkan musik yang indah, tetapi juga membawa penonton dalam perjalanan yang mendalam ke dalam budaya dan tradisi Minangkabau, serta menghidupkan kembali unsur-unsur tradisional dengan sentuhan kreatif dan inovatif yang memikat.

Karya terakhir yang dipentaskan dalam acara MTB adalah “Silang Budaya,” sebuah komposisi musik yang diciptakan oleh avant-garde Dewa Gugat (AGDG) dan Rama Anggara. “Silang Budaya” merupakan sebuah penawaran inovatif yang mengambil bentuk kolaborasi musikal, mengambil inspirasi dari pengalaman empiris kedua komposer ini. Penggarapan komposisi ini dilakukan dengan menggunakan media digital yang melibatkan sejumlah efek dan plugin khusus, mengubah sumber bunyi dari instrumen tradisional menjadi sesuatu yang segar dan kontemporer di tangan keduanya.

Salah satu hal yang membuat “Silang Budaya” menjadi begitu menarik adalah penggunaan teknik rekaman langsung (live recording) saat para musisi memainkan instrumen mereka. Bunyi yang terekam kemudian diulang secara repetitive dengan nuansa dan efek yang berbeda, menciptakan suara yang kompleks dan eksperimental. Kemudian, bunyi repetitive ini direspon dengan berbagai ekspresi bunyi oleh para musisi.

Gagasan “Silang Budaya” merujuk pada penggunaan instrumen khas dari budaya lokal yang berbeda. Dalam komposisi ini, terdapat tiga musisi yang masing-masing menggunakan instrumen khas dari budaya mereka sendiri. Instrumen seperti bansi dan sarunai mewakili budaya Minangkabau, sementara gambus adalah instrumen dari budaya Melayu Kalimantan. Konsep persilangan ini menjadi sebuah ungkapan unik yang mencerminkan kolaborasi dua komposer yang berasal dari daerah yang berbeda.

Melalui “Silang Budaya,” Dewa Gugat dan Rama Anggara berhasil menghadirkan harmoni yang menarik antara berbagai unsur budaya, menciptakan sebuah pengalaman musikal yang tidak hanya memadukan tradisi dan modernitas, tetapi juga menggugah pemikiran tentang berbagai aspek keberagaman budaya di Indonesia. Pertunjukan ini menjelaskan bahwa musik adalah bahasa universal yang dapat menghubungkan orang dari berbagai latar belakang dan menggali kekayaan budaya yang ada.

Setelah pertunjukan tiga karya yang memukau, acara MTB dilanjutkan dengan sesi yang tak kalah menarik, yakni sesi diskusi bedah karya. Diskusi bedah karya ini memberikan kesempatan bagi para komposer untuk mempresentasikan konsep dan gagasan di balik karya-karya yang mereka sajikan. Diskusi MTB pada malam tersebut dihadiri oleh beragam peserta, termasuk mahasiswa, seniman, alumni, dosen, dan seluruh penonton yang hadir untuk menyaksikan pertunjukan yang luar biasa. Diskusi ini dipandu oleh seorang moderator yang kompeten, Biki Wabihamdika, seorang alumni Prodi Seni Karawitan.

Diskusi dimulai dengan pemaparan konsep dan gagasan dari masing-masing komposer, yang memberikan wawasan mendalam tentang proses kreatif di balik karya mereka. Kemudian, diskusi berlanjut ke sesi tanya jawab, di mana peserta dapat mengajukan pertanyaan terkait dengan inspirasi dan perjalanan ide hingga menjadi sebuah karya yang mengesankan. Diskusi juga mencakup proses dan strategi yang digunakan dalam menciptakan karya tersebut.

Melalui diskusi ini, terjadi sebuah transformasi pemikiran dan gagasan dari komposer yang berbagi pengalaman mereka dengan peserta diskusi. Diskusi tersebut memberikan wawasan yang mendalam dan memungkinkan para peserta untuk lebih memahami latar belakang dan motivasi di balik karya seni yang mereka nikmati. Diskusi ini juga menjadi pembelajaran yang berharga, terutama bagi mahasiswa dalam Prodi Seni Karawitan, yang dapat menggunakan wawasan ini sebagai inspirasi untuk proses pembelajaran mereka.

Sesi diskusi juga memberikan kesempatan bagi para dosen sebagai pengarah, untuk merangkum hasil diskusi, memberikan pandangan dan panduan yang berharga, serta memberikan dukungan untuk pengembangan MTB selanjutnya. Ini menunjukkan betapa pentingnya kolaborasi antara para komposer, dosen, dan mahasiswa dalam memajukan seni musik tradisional dan eksperimental, serta memastikan kelangsungan MTB sebagai wahana yang memperkaya pemahaman tentang seni musik di kalangan generasi muda.